[Review] This Guy is Mine by Gunan Ariani

Judul: This Guy is Mine
Penulis: Gunan Ariani
Penerbit: Stiletto Book
Editor: Weka Swasti
Proofreader: Herlina P Dewi
Layout isi: Helmy Adhi Wibowo
Tebal: 272 Halaman
Cetakan: Pertama (November, 2014)
ISBN: 978-602-7572-34-8
Genre: Romance, Chicklit

BLURB

“Kita lihat aja ntar, siapa yang akan dipilih Bastian,” kata Sammy sengit.
“Elo mau saingan? Sama gue?” Raisa benar-benar tidak habis pikir. Bersaing dengan seorang gay? Yang benar saja! 

Karier Raisa, 25 tahun, sebagai design interior sedang di ujung tanduk gara-gara proyeknya terancam batal. Dia bertekad akan melakukan apa pun untuk mempertahankannya. Bastian, rekan satu tim sekaligus anak dari pemilik perusahaan, melihat peluang itu. Bastian lantas memberikan tawaran yang sulit ditolak: Raisa harus mau menjadi pacar pura-puranya agar dia tak dijodohkan, dan Bastian akan membantu Raisa menyelesaikan masalahnya. It’s a big deal. Dan catat, Bastian adalah lelaki yang sudah lama dikagumi Raisa. 

Raisa pikir, semua sandiwara ini akan berjalan mulus. Raisa juga makin suka kepada Bastian akibat perlakuan spesial Bastian padanya. Hingga saat Raisa dan Bastian mengurus proyeknya di Bali, mereka bertemu dengan Sammy, seorang gay dari masa lalu Bastian. Kehadiran Sammy membuat hubungan Raisa dengan Bastian semakin rumit. Jika benar Bastian gay, lantas apa arti ciuman mereka malam itu? Dan jika benar Bastian gay, berarti kehidupan cinta Raisa benar-benar terancam!

REVIEW

Raisa Oktavia Indra, masih berusia 25 tahun tapi sudah sering ditagih oleh orangtuanya kapan bisa mantu. Ia biasa dipanggil Raisa oleh teman-temannya, tapi kalau di rumah malah dipanggil Princess oleh mamanya. Raisa bukanlah anak bungsu. Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Mereka perempuan semua, tapi tinggal Raisa yang belum menikah. Papa dan Mama Raisa sampai heran dengan kebiasaan Raisa yang langsung pulang cepat di hari Jumat dan tidak pernah ke mana-mana di hari weekend. Orangtuanya berharap supaya Raisa bisa mengenalkan seorang lelaki sebagai pacar kepada mereka supaya bisa dijadiin calon menantu.

Raisa bekerja di La Belle Interior Design di Jakarta. Punya sahabat karib bernama Oxcel yang sudah duluan menikah dengan lelaki yang tak lain adalah sahabat SMA Raisa dulu. Oxcel dan suaminya adalah hasil dari racikan comblangan Raisa. Selama dua tahun bekerja di La Belle, Raisa menyimpan perasaan terhadap atasannya, Bastian.

Sebastian Ardinata Putra, berumur 28 tahun, biasa disapa dengan Bastian. Dia adalah keponakan dari Ms. Alex, bos di La Belle Interior Design. Bastian juga menjabat ketua tim dari grup designer tempat Raisa bernaung. Bastian itu orangnya tampan, kekar berotot, mapan juga, tapi sering berhembus kabar kalau dia itu gay. Ternyata itu tidak menyurutkan perasaan Raisa pada Bastian. Raisa suka padanya sejak pertama kali hari kerjanya bergabung dengan La Belle, dan Bastian tidak pernah tahu akan hal itu. Dia hanya tahu kalau hubungan mereka cuma sebagai rekan kerja. Namun, ternyata Bastian sendiri punya perhatian khusus kepada Raisa, bahkan dia tidak pernah lupa dengan obrolan pertama mereka di lift waktu itu.

“Bastian, laki-laki kelahiran 28 Agustus 1986, lulusan Ohio University, AS.” — (hlm. 9)

Hanya itu yang Raisa tahu tentang Bastian. Dia tidak pernah menghiraukan gosip tentang Bastian gay. Tapi, dia juga tidak pernah tutup kuping untuk tahu perkembangan kabar soal Bastian melalui Oxcel.

Suatu hari, Ms. Alex mengabarkan kalau proyek kerjasama La Belle yang ditangani oleh tim Bastian dan Raisa dengan proyek pembangunan Aphrodite Resort di Percatu, Bali, dari Mr. Joseph terancam gagal dengan alasan desainnya tidak cocok dengan keinginan mereka. Yang membuat Raisa kesal adalah justru ancaman ini akibat masalah pribadi antara Ms. Alex dan Mr. Joseph. Bagi Raisa, ini sungguh tidak profesional jika mencampurkan urusan pribadi dalam hal kerjaan. Akhirnya Ms. Alex mengusulkan supaya Bastian dan Raisa berdiskusi langsung pada Mr. Joseph soal proyek ini karena desain yang ditawarkan adalah desain dari Raisa sendiri.

Dalam situasi yang sedang genting itu, Bastian justru masih sempat-sempatnya mengajukan ‘kerjasama’ dengan Raisa saat mereka makan bersama. Bastian ingin Raisa bersedia jadi pacar pura-puranya karena sebentar lagi menjelang ulang tahun pernikahan orangtua Bastian. Jika Bastian tidak membawa pacar ke acara itu, maka orangtuanya sudah siap dengan sederet wanita untuk dijodohkan dengannya.

Hal itu membuat Raisa bimbang karena gosip gay yang melekat pada diri Bastian tapi ia tidak berani bertanya soal itu saat itu juga. Dengan berbagai penawaran tentang keuntungan apa yang bisa didapat Raisa dari ‘kerjasama’ itu, akhirnya Raisa mau menjadi pacar pura-puranya Bastian. Mulai besok, mereka akan langsung bersandiwara di depan semua orang termasuk rekan di kantor dan keluarga.

“Satu-satunya jawaban yang bisa aku kasih saat ini adalah, aku bukan gay. Keluargaku, bahkan tanteku, tahu soal gosip itu, dan kami punya alasan untuk tidak menanggapi perihal gosip itu.” — Bastian (hlm. 52)

“Apa pun yang kamu lakuin, aku percaya itu udah jadi keputusan terbaikmu dan udah menjadi hak kamu untuk menyumpan apa pun yang menjadi privasi kamu.” — Raisa (hlm. 53)

Bagiamanakah kehidupan Raisa dan Bastian dalam kepura-puraan tersebut? Mengingat bahwa pada dasarnya mereka punya rasa dan perhatian sendiri kepada satu sama lain. Akankah sandiwara ini mempengaruhi karir mereka di kantor? Sukseskah proyek mereka untuk Aphrodite Resort di Bali? Akankah kepura-puraan ini menjadi hal yang nyata hingga mereka bahagia? Lalu apakah ada suatu kebenaran atau hal yang tak terduga di balik gosip gay itu? Temukan jawabannya di buku ini. 😀

“PDKT cuma buat anak remaja, Cel.” — Raisa (hlm. 57)

***

Novel ini mengambil setting di dua kota yaitu Jakarta dan Bali. Sejujurnya aku malah lebih excited waktu mereka ada di Bali lho, karena si penulis lebih bisa mengenalkan tempat-tempat berkesan yang ada di Bali (maklum, aku belum pernah ke Bali hahaha!). Ya, nggak heran sih ya, karena si penulis kan memang orang Bali dan tinggal di Bali. 😉

“Budaya sama pasiwisatanya bisa seimbang ya. Sepanjang tadi kita keliling Ubud dengan sepeda, gue heran aja ngelihat aktivitas orang-orang di sini, kayak kehidupan normal pedesaan pada umumnya. Ya, kan? Kita lihat tadi ibu-ibu yang bawa tumpukan buah di atas kepala mereka misalnya, atau pas kita lihat ada kakek-kakek yang bawa itik-itik menyeberang jalan. Aktivitas mereka tuh kayak nggak terpengaruh gitu sama keberadaan wisatawan. Jadinya mereka tuh tanpa sadar sudah mempromosikan pariwisata Bali hanya dengan aktivitas hariannya. That’s cool. No?” — Raisa (hlm. 175-176)

Novel ini agak berbeda dengan novel lain yang punya topik sama (sandiwara sebagai pasangan). Karena kalau di novel lain itu kebanyakan mereka tidak diawali dengan cinta atau ketertarikan, baik itu dari satu pihak saja atau malah dari kedua pihak. Kalau di novel ini, melalui narasi si penulis yang bertugas sebagai pengamat, dikatakan kalau Raisa memang jatuh cinta pada Bastian sedangkan Bastian pun punya ketertarikan pada Raisa.

Aku sih gemas ya waktu tercetus ide untuk pura-pura itu. Lah, mereka ini kan intinya suka sama suka, yo wis, pacaran beneran aja kenapa tho? Tapi, tentunya ini karena si penulis bisa membeberkan alasan dasar kenapa hal ini dapat terjadi sehingga situasi tersebut masih masuk akal. Pasalnya, si Bastian ngerasa kalau Raisa itu sama sekali nggak peduli apalagi punya rasa padanya, dan Bastian mengira kalau Raisa tidak pernah ingat lagi soal pertemuan mereka di lift—which is he means nothing for her. Padahal, aspirin yang diberikan Bastian di lift waktu itu masih disimpan rapi oleh Raisa di dalam toples. Sedangkan Raisa sendiri masih merasa janggal karena gosip gay itu dan mengira bahwa tidak akan mungkin kalau Bastian menyukainya karena biasanya kalau di kantor itu Bastian suka menjaga jarak dengan karyawan lain, termasuk dirinya. Jadilah mereka deal cuma dengan sandiwara.

Yang bikin beda lagi nih, kan niatan pura-pura itu cuma untuk show off di depan orangtua Bastian di pestanya nanti. Ya, kukira itu pestanya sekitar beberapa hari lagi atau paling lama minggu depannya sejak tawaran ‘kerjasama’ itu. Eh, ternyata lama banget lho nunggu momen itu tiba. Jadi, sepanjang isi buku ini mereka udah menjalani yang namanya pembiasaan diri menjadi sepasang kekasih. Pestanya malah ada di akhir-akhiran pas sisa halamannya udah makin menipis. Weleh-weleh, aku tertipu! XD

“Nggak ada wanita yang mampu bikin gue kayak gini, menjadi orang yang idiot soal cinta.” — Bastian (hlm. 193)

“Gue cuma pengin dia jadi milik gue. That’s all.” — Bastian (hlm. 193)

Chicklit yang diusung jadi tema novel ini sesungguhnya sangat memenuhi kriteria bacaan favoritku. Cerita roman dengan pemeran utama seorang wanita dewasa berumur 20-30an tahun, punya karir atau pekerjaan yang modern dan gaya hidup masa kini. Stiletto’s chicklit bisa dibilang kayak Gramedia’s Metropop gitu yang selama ini jadi seri langgananku. Hmm, ini pertama kalinya aku baca Stiletto’s chicklit dan langsung suka! Maka, mulai saat ini seri Stiletto’s chicklit jadi salah satu seri incaranku. Yeay! 😀

Aku suka keseluruhan ceritanya dan juga konflik-konflik yang hadir silih berganti. Meski pun sikap Raisa dan Bastian ini suka maju-mundur dan sering membuatku gemas cuma karena status mereka yang cuma sadiwara, tapi justru lama-lama ‘pagar’ sandiwara itu makin rapuh dan hilang dengan sendirinya. Eksplorasi karakternya juga sudah bagus. Keunikan masing-masing tokoh juga cukup ditonjolkan misalnya Raisa yang suka makan belepotan, Oxcel yang suka banget gosip, dan Bastian yang… yang… yang apa ya? Semacam care banget gitu deh. 😉

“Hari gini nggak perlu pacaran lama-lama. Yang penting ngerasa cocok, langsung aja married.” — Oxcel (hlm. 235)

Sayangnya masih ada beberapa hal yang mengganjal buatku. Misalnya pas si Jessie ngirim paket berisi gaun rancangannya ke Raisa yang lagi di Bali. Nah, Jessie itu kan tinggalnya di Jakarta. Emangnya kalau ngirim paketnya saat itu juga, besok siangnya bisa bisa langsung nyampe Bali gitu? Apa itu nggak terlalu cepat ya? Atau mungkin memang ada dan bisa dikirim super kilat dengan jasa pengiriman paket kilat kali ya. CMIIW 😳

Trus masih banyak juga kesalahan penulisan dan typo. Ada yang kurang tanda kutip sehingga tidak menyadari kalau itu merupakan kalimat yang sedang diucapkan oleh tokohnya, ada juga yang kelebihan atau kekurangan huruf juga tanda koma & titik, ada juga kutipan pesan singkat (SMS) tidak ditulis dengan font yang berbeda (ada di awal bab 5) sedangkan di kutipan SMS yang lain font-nya dibedain, jadinya nggak konsisten. Semoga di cetakan selanjutnya bisa diperbaiki sehingga terasa lebih nyaman ketika dibaca.

Baca This Guy is Mine sambil ditemani kue-kue sisa lebaran

Baca novel This Guy is Mine sambil ditemani kue-kue sisa lebaran

Okay, aku kasih rating 4 bintang buat si novel cantik This Guy is Mine. Semoga di kesempatan berikutnya bisa nemu Stiletto’s chicklit yang lainnya yang pada seru-seru lagi dan bisa ngasih 5 bintang. XD

OVERALL RATING

★★★★☆

2 thoughts on “[Review] This Guy is Mine by Gunan Ariani

  1. jadi sebenarnya Bastian itu gay atau bukan ya? 😀

    Like

Leave a comment