[BlogTour] Review: Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta by Suarcani

Hai, kawan-kawan!

Selamat datang kembali di blog saya dalam rangka pelaksanaan blog tour novel SATU MATA PANAH PADA KOMPAS YANG BUTA karya penulis Suarcani yang diterbitkan oleh Jendela O’ Publishing House. Dalam kesempatan kali ini, saya selaku host ke-3 akan berbagi resensi sekaligus 1 buah novel SMPKB buat kalian sebagai salah satu peserta beruntung.

Post blog tour dibagi dua: yang pertama adalah post review dan selanjutnya menyusul post giveaway pada pukul 11:00 WIB nanti buat yang mau dapetin novel ini secara gratis. Pokoknya pantengin aja terus, ya! 😉

Sekarang mari kita simak dulu yuk bagaimana isi buku dan ceritanya melalui resensi dari saya di bawah ini. Check this out!

COVER SMPKB

Judul: Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta
Penulis: Suarcani
Penerbit: Jendela O’ Publishing House
Penyunting Naskah: Yenita Anggraini
Penyelaras Aksara: Deasy Serviana
Perancang Sampul: eSLC Project
Penata Letak: Refa Annisa
Cetakan: Pertama
Terbitan: Maret 2016
Tebal: vii + 226 Halaman
Genre: Slice of Life

ORDER NOW!

banner jual SMPKB

BLURB

Kompasmu, apakah kamu memperhatikannya? Ada dua arah di sana. Utara dan selatan. Sama halnya seperti matamu sendiri, arah itu menyelamatkanmu dari kesesatan. Tapi kompas milikku buta. Tidak ada utara selatan dalam hidupku, semua hanyut dalam ketakutan dan masa lalu. Lima belas tahun penjara mencuri jarum kompasku dan setelah bebas, aku pun masih belum tahu ke mana arah hidupku.

Aku pembunuh, korban hasrat yang menyimpang. Dunia luar menungguku, berpura-pura menyambutku dengan semarak, untuk kemudian kembali meremukkanku dalam ketakutan.

Aku butuh jalan, butuh mata kompasku. Apakah kamu bisa membantuku menemukannya?

Aku Ravit, bekas tahanan yang kini kembali terpenjara rasa takut.

REVIEW

Ravit baru saja menghirup udara bebas setelah selama 15 tahun ia mendekam dalam bui karena kasus pembunuhan. Lelaki ini telah melewati banyak proses perubahan yang terjadi di Kota Depok selama ia terkurung di tahanan Salemba. Bukannya senang, Ravit malah bingung dengan perasaannya sendiri ketika masa tahanannya habis, karena ia tidak tahu harus pulang ke mana setelah ia bebas. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Kawan-kawannya sesama penghuni lapas yang telah lebih dulu keluar pun tak ada yang menjenguknya seperti janji yang mereka pernah ucapkan dulu.

Entahlah. Aku hanya pasrah. Ke mana tubuhku dibawa, ke sanalah kebahagiaan dengan ketakutan yang tertatih di belakangnya itu, turut serta. Aku tidak bisa mengenyahkan salah satunya, keduanya sudah menjadi satu dengan darahku. — (hlm. 5)

Tidak ada persahabatan sejati di dalam penjara. Gesekan kepentingan membuat garis antara teman dan kawan itu setipis kasur yang kami tiduri. — (hlm. 14)

Untunglah masih ada Rustawan–atau kerap disapa Om Rus–yang masih setia menengok dan menjemput Ravit keluar dari Salemba. Om Rus adalah teman Mama Ravit yang sangat baik dan sudah menyayangi Ravit seperti anak sendiri. Ia juga yang pernah mengurus kasus Ravit karena profesinya sebagai pengacara. Bisa dibilang ia kaya dan hidup sangat berkecukupan. Om Rus mengajak Ravit tinggal di rumahnya tetapi kesan yang Ravit tangkap dari istri Om Rus dan dua anak perempuannya tidaklah bersahabat apalagi welcome terhadapnya. Siapa yang suka menerima mantan napi untuk tinggal di dalam rumahnya? Begitu pikir Ravit.

Apa artinya kebebasan ini jika pada akhirnya aku kembali dipenjara oleh ketakutan? — (hlm. 14)

Secara halus Ravit menolak untuk tinggal di sana. Ravit akhirnya meminjam uang pada Om Rus lalu tinggal indekos saja. Uang dari Om Rus akan ia ganti setelah rumah peninggalan mamanya laku terjual. Tetapi, bukannya melanjutkan hidup baru, Ravit malah makin mengisolasi diri dari masyarakat sosial. Ada ketakutan dalam dirinya kalau-kalau penduduk Depok mengenalinya sebagai seorang mantan pembunuh.

“Ini namanya menyiksa diri, Ravit. Sama saja dengan memindahkan Salemba ke Depok, kamu hanya akan membunuh dirimu secara perlahan. Om tahu kalau Om tidak sepenuhnya bisa membuatmu kembali seperti dulu, tetapi setidaknya, biarkan Om mencoba. Atau, setidaknya buatlah dirimu mau mencoba. Hidupmu masih panjang, belum akan berakhir esok hari. Masih ada hari lain setelah matahari tenggelam nanti, masa depan menunggumu di ujung sana. Tidakkah kamu ingin memiliki kehidupan yang lebih baik?” — Om Rus (hlm. 16)

“Setiap orang berhak hidup bahagia, Ravit. Termasuk juga kamu. Cobalah untuk bicara pada dirimu sendiri, pada hatimu. Bujuk mereka untuk membiarkanmu lepas dari bayang-bayang ini, dari masa lalu yang mengerikan itu. Bilang pada mereka, kamu punya hak untuk hidup lagi, untuk menjalani kehidupan seperti orang normal. Cobalah!” — Om Rus (hlm. 17)

Tawaran lain datang dari Om Rus. Menurutnya Ravit butuh liburan. Ke mana? Bali. Tujuannya untuk membersihkan jiwa yang tersesat seperti Ravit. Om Rus sudah menyiapkan segalanya–tiket, hotel, pesangon di jalan–pokoknya Ravit tinggal pergi saja jika dia mau. Awalnya Ravit masih mempertimbangkan liburan ke Bali itu, tapi akhirnya dia menyetujui juga. Di Bali tidak ada seorang pun yang ia kenal dan di sana tidak akan ada yang mengenalinya sebagai mantan pembunuh. Begitu pikirnya.

Di Bali, ketika berkumpul dengan rombongan tur dan masuk ke mobil, Ravit berkenalan Urvashi (dilafalkan Urwashi) atau biasa dipanggil Uci, dan ada pula Dara yang duduk bersebelahan dengannya di mobil. Dua wanita ini sanggup membuatnya kocar-kacir ingin pergi dari rombongan tur. Bahkan ia nekat terjun dari mobil ketika mobil sedang berjalan akibat perlakuan salah satu dari mereka yang membangkitkan kenangan buruk di masa lalu dan membuat Ravit ketakutan setengah mati.

Masa lalu seperti apa yang dialami Ravit? Seburuk apakah masa lalunya itu? Benarkah ia hanya seorang tersangka pembunuh atau ada yang lebih dari itu? Lalu bagaimana cara Ravit mengobati ketersesatan jiwanya?

***

Novel SMPKB

Mau memuji cover-nya dulu ah. Keren! Simple tapi ‘dalem’. Gambar sel penjara beserta kuncinya di cover belakang serta di halaman tiap awal BAB baru pun menambah kesan yang kuat. Sejak membuka halaman awal, memang sudah terasa sekali nuansa kelamnya cerita yang akan disuguhkan. Benar saja, ternyata tentang mantan napi kasus pembunuhan dan punya masa lalu yang begitu tragis. Menggunakan sudut pandang orang pertama dari tokoh Ravit sebagai pelaku utama, saya bisa sangat mengerti bagaimana ketakutan, kegelisahan, kebingungan, dan kegalauan Ravit dalam menghadapi dunia luar selepas keluar dari bui. Rasa itu tersampaikan dengan baik pada saya.

Tidak banyak tokoh yang punya porsi lumayan di novel ini. Sebagian besar diisi oleh Ravit dan Uci saja, sehingga dengan penggunaan POV 1 itu tidak masalah bagi saya jika sekali pun saya tidak bisa meraba isi pikiran dan isi hati tokoh lainnya yang tidak bisa diketahui oleh Ravit.

Penulis dengan lincah dan gesitnya mengatur ritme emosi saya sebagai pembaca untuk merasa penasaran akan kisah di balik masa lalu Ravit. Melalui rangkaian kata dari racikan jemari Suarcani dan majas yang digunakan pun membuat kalimatnya sangat indah dibaca tapi juga mudah dicerna dalam imajinasi. Melalui deskripsi setting tempat dan waktu pun dijabarkan dengan sangat baik. Perlompatan antara scene di masa sekarang dan masa lalu pun jelas batas perbedaannya di mana. Saya tidak perlu bingung kalau tiba-tiba plotnya berpindah tanpa ‘sekat’.

Karakter Ravit dan Uci cukup kuat digambarkan. Itulah keuntungannya kalau punya tokoh yang tidak begitu banyak dalam sebuah cerita fiksi. Pembaca bisa fokus menyimak dan menelisik segala detil ceritanya. 😀

“Hebat sekali, pengangguran tapi bisa ikut tur yang biaya jutaan.” — Uci (hlm. 44)

Itulah cetusan yang keluar dari mulut Uci saat ia bertanya apa pekerjaan Ravit yang dijawab pengangguran oleh Ravit. Sindiran yang lugas tetapi memang begitulah adanya. Ravit  pun tak bisa untuk marah atas ucapan Uci tersebut. Ia hanya bisa mengkerut dalam diam.

Ravit si anak manis, sangat berbakti pada orangtua, memegang teguh nasihat mendiang papanya, sangat sayang pada mamanya hingga rela melakukan apa pun supaya jangan sampai air mata mamanya menetes lagi, sekali pun hal yang selama ini ia tahan dan rahasiakan dari sang mama itu telah menyakiti fisik dan merenggut ketahanan psikis Ravit sendiri. Setelah semua kejadian yang dia alami hingga keluar dari bui, sikap Ravit sangat kaku, gugup tak berkesudahan, bahkan untuk berbicara pun selalu terbata-bata.

“Jangan pernah marah jika seorang perempuan cerewet padamu. Mereka begitu karena ingin kamu hidup dengan cara yang lebih baik. Berikan mereka senyuman, peluk, puji, dan cium.” — Papa Ravit (hlm. 50)

Uci si wanita kuat yang tegas, optimis, dan bermulut agak tajam. Tetapi apa yang dia ucapkan seringnya penuh makna mendalam. Ia sangat mencintai tanah Bali-nya dan sangat menyakini bahwa Bali bisa jadi ‘obat’ bagi siapa pun.

“Bali itu bisa memberi apa pun yang kamu inginkan. Kami tidak hanya punya keindahan fisik, segala sesuatu yang ada di tanah ini bertuah, menyimpan energi yang tidak kamu sadari. Bali itu menerima semua orang, seperti seorang ibu yang menyambut anaknya untuk pulang.” — Uci (hlm. 45)

“Setiap kehidupan mengemban pertanyaan khusus. Sampai kita mendapatkannya, kita akan terus mencari. Seseorang mungkin bisa berjalan ke arah yang benar, tapi lebih banyak lagi yang tersesat. Seperti halnya pergi ke suatu dunia yang asing, kamu hanya akan menemukan jawaban yang tepat, jika kamu tahu jalan untuk menemukannya.” — Uci (hlm. 46)

Membaca novel ini membuat saya bisa mengenal Bali secara lebih jauh tentang tradisi, budaya, tempat-tempat bertuah, objek wisata menakjubkan, dan perjalanan spiritual masyarakatnya yang selama ini tidak pernah saya tahu. Dibandingkan dengan novel lain yang kebanyakan hanya sekilas menyisipkan Bali sebagai salah satu setting tempat dengan objek wisata yang kebanyakan sudah pernah kita dengar, baca, atau tonton. Tak heran kalau banyak sekali pilihan tempat yang dikunjungi Ravit dan Uci selama tur di Bali, pasalnya si penulis ini memang orang Bali dan sudah sangat hafal dengan tempat-tempat tersebut.

“Banyak manfaat melukat. Bisa mengobati banyak penyakit, memberi keturunan, awet muda, mengusir aura negatif, mempertahankan kerukunan rumah tangga, bisa juga untuk menyegarkan tubuh, dan menjernihkan pikiran. Kami di Bali meyakininya.” — Uci (hlm. 72)

Konflik dasarnya ini bikin saya terperangah dan geleng-geleng kepala. Konflik yang cukup parah, menyedihkan, tapi juga menimbulkan sensasi yang kuat terhadap premis dan alurnya. Ada juga beberapa twist yang bisa ditemukan di novel ini. Beberapa hal tidak terduga karena cerita ini memang dikemas layaknya kotak misteri berlapis-lapis dan harus sabar membongkarnya. Meski begitu, saya tidak merasa bosan sedikit pun selama proses membaca buku ini. Justru ingin segera cepat menyudahinya karena rasa penasaran menuntut untuk segera dituntaskan, sekaligus saya tidak tega menyimak kejadian yang dialami Ravit di masa dulu. Sebut saja dia sebagai tersangka karena telah membunuh seseorang, tetapi di mata saya sebenarnya Ravit adalah korban yang sesungguhnya. 😥

“Adakalanya masa lalu harus diabaikan. Seperti semua kejadian yang kita alami hari ini, cobalah jangan memikirkan apa dan kenapa bisa terjadi. Semua memang harus terjadi, akibat susunan dari karma. Ambilah, abaikan, dan lupakan!” — Sang Guru (hlm. 118)

Dari segala kelebihan yang sudah saya lontarkan, ada hal yang bikin saya masih penasaran. Misalnya dimulai di halaman 172. Apa penyebab keributan yang terjadi di rumah saat Ravit baru pulang? Kalau pun disebutkan mungkin tidak terlalu penting, tapi tetap saja saya penasaran. Hehehe. Sayang sekali di bagian itu tidak dijelaskan mengapa dan apa sebabnya. Oh ya, masih ditemukan juga beberapa typo, tapi tidak masalah karena jumlahnya masih bisa dihitung dengan satu tangan.

Mungkin kalian berpikir isi buku ini terlalu serius. Ah, tidak juga kok. Ada bagian yang membuat saya tersenyum geli oleh kelakuan Ravit dan Uci. Saya pun menyukai perubahan sikap Ravit pasca ia melakukan melukat. Ravit tidak lagi kikuk dan ngomong tergagap. Ia juga sudah bisa mulai melontarkan candaan pada Uci. Sweet! 😉

Novel ini memang bukan bertema cinta, melainkan mengajak kita untuk mau melakukan perubahan yang berasal dari hati kecil kita sendiri. Novel ini memang bukan mengisahkan romansa sepasang sejoli, melainkan memberi motivasi pada pembacanya untuk bisa percaya diri dan senantiasa membersihkan hati. Novel ini memang sedikit tragis meski tidak sampai menstimulasi saya untuk menangis, tetapi sanggup membuat hati saya ikut teriris-iris.

Kalau kalian sedang merasa bosan dengan fiksi bertema cinta, ingin membaca kisah potongan pedihnya kehidupan, dan butuh asupan motivasi melalui tokoh-tokohnya, novel ini sangat cocok untuk kalian santap!

 OVERALL RATING

★★★★★

Note: saya kasih lima bintang bukan karena peran saya sebagai host dan tugas saya untuk mempromosikan buku ini semaksimal mungkin. Tidak. Lima bintang ini jujur dari hati yang paling dalam karena saya memang benar-benar menyukai ceritanya dan motivasi yang coba disampaikan lewat novel ini. Bravo! 👌👏👍

Buat kalian yang penasaran bagaimana behind the scene pembuatan novel ini sejak awal ditulis hingga proses terbit, silakan baca curhatan dari penulisnya di sini:

Cerita di Balik Penulisan Novel Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta

Sudah pada terlanjur penasaran dengan kisahnya Ravit? Novel ini bisa kalian beli secara online di beberapa toko buku online yang tercantum pada banner di atas. Atau kalau mau coba peruntungan buat dapat gratisannya, silakan ikuti giveaway-nya yang akan aku post beberapa jam lagi. Sudah siap, gaes?! 😀

IMG-20160401-WA0000


Attention!!!

Post giveaway sudah diterbitkan di link di bawah ini. Silakan pada ikutan. 😉

[Blog Tour] Giveaway: Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta by Suarcani

31 thoughts on “[BlogTour] Review: Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta by Suarcani

  1. Sepasang Mata Panah pada Kompas yang Buta

    Like

  2. Dari judulnya saja sudah buat penasaran apalagi isinya 🙂

    Like

  3. […] 5. Simak dan tinggalkan jejak komentar di post Review: Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta. […]

    Like

  4. Fitriscia Jacilia

    Buku ini udah masuk wishlist sejak baca review-review dr teman2 lain yang sudah baca. Dan makin penasaran baca review mu, Kak 😆

    Like

  5. Aku selalu suka novel-novel dengan memberi motivasi hidup lebih baik. Jadi penasaran sama di balik kisah masa lalu Ravit. Apa yang sebenarnya terjadi? Sudah banyak kecamaku tebakan tentang masa lalu kehidupan Ravit di kepalaku. hehh 😀

    Like

  6. Maaf, salah nulis .
    Maaf, juga baru buka. MBB. :’)
    Maaf, saya manusia.biasa.
    okay, review nya kak Arya. Nice.
    Keren deh kak.

    Like

  7. Kok rada serem ya 😀
    tapi kisahnya semacam misteri gitu, jadi pengen baca dan mereviewnya

    Salam

    Like

  8. Sebenernya takut-takut penasaran mau baca novel pemenang Way back Home ini.. (takut karena pasti diriku akan tertohok!)
    karena bisa dibilang posisiku sama kayak Ravit skarang ini.. lagi nyari jalan “pulang” 😥

    Like

  9. Bagaimana perasaan seorang narapidana yang baru saja keluar selama belasan tahun dipenjara? Itulah yang dihadapi Ravit setelah menghirup udara bebas. Dia ragu antara harus senang atau takut. Dia harus bergulat dengan dua perasaan selalu hadir dalam dirinya itu.

    “Aku hanya pasrah. Ke mana tubuhku dibawa, ke sanalah kebahagiaan dengan ketakutan yang tertatih di belakangnya itu, turut serta. Aku tidak bisa mengenyahkan salah satunya, keduanya sudah menjadi satu dengan darahku.”

    Suarcani adalah lakon di balik kisah Ravit, seorang bekas tahanan yang kembali terpenjara perasaan-perasaannya. Penulis pendatang baru ini termasuk produktif karena sudah menerbitkan dua buku selama tahun ini. Selain “Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta”, Suarcani juga menulis The Stardust Catcher untuk penerbit lainnya.

    Buku terbitan Jendela O’ Publishing House ini tidak hanya menceritakan pergulatan batin seseorang, buku ini juga memberikan arti kompas kehidupan.. (^_^)

    Like

  10. Novel ini sederhana tapi menarik perhatianku..mulai dari judulnya udah bikin penasaran, penuh misteri ceritanya. Apa sebenarnya terjadi dimasa lalu Ravit? Kalau dia melakukan kesalahan pasti ada sebabnya dia nelakukan itu.. dan bagaimana penyelesaian konflinya nanti? Uww🔥

    Like

  11. Huwaa … keren banget ceritanyaa! Walaupun hanya sepenggal, kakak mampu membuatku jadi makin penasaran sama ceritanya ><

    Like

  12. Cukup lama menantikan buku semacam ini, yang berani mengangkat cerita tentang tokoh yang ‘benar-benar’ tak sempurna, yang memiliki masa lalu kelam, bukan sekadar ‘bad boy’ karena suka main perempuan aja. Setelah membaca dan suka sama The Stardust Catcher rasa pensaran pada buku ini semakin besar.

    Like

  13. Ternyata menarik juga ya, di buku ini kita diajak untuk melihat perspektif lain yaitu dari sudut pandang seorang mantan napi. Penasaran banget sama ceritanya! Ide cerita yang baru banget buat aku. Apalagi stereotipe masyarakat yang memandang mantan napi apalagi napi pembunuhan dengan sangat negatif. Padahal bisa saja si mantan napi sudah atau ingin berubah menjadi lebih baik. Tapi tetap saja bagai goresan tinta di atas kertas akan sulit hilan bekasnya. Reviewnya bagus kak, dengan bintang 5 nya malah bikin tambah greget penasaran ^^

    Like

  14. Aku penasaran dengan cara Ravit menyembuhkan dirinya sendiri. Sekalian penasaran sama Bali yang coba disuguhkan sama mbak Suarcani 😀 Penasaraaaaan 😀
    Nice review Kak Aya 😀

    Like

  15. Sejak pertama melihat perilaku Ravit aku yakin, bukan Ravit pelaku sebenarnya. Apalagi dia begitu menghormati kedua orang tuanya, dia anak yang berbakti. Dan aku penasaran dengan apa yang membuatnya bisa masuk penjara. 15 tahun itu bukan waktu yang sebentar, banyak hal yang sudah terjadi dan berubah di dunia ini. Benar-benar sebuah tanda tanya besar buatku.

    Like

  16. Aduuuhh…Ravit bikin penasaran aja sih???

    Like

  17. Covernya bikin jatuh cinta ❤ penasaran euy sama ceritanya.. Gimana hati aku pas baca ini.. Mungkinkah akan teriris-iris? :3

    Like

  18. Ko sedih banget baca reviewnya. Yang pasti sih penasaran banget kira-kira gemana si Ravit mengatasi masalah sosial setelah dia keluar dari penjara. Dan sebab dia dipenjara juga bikin penasaran

    Like

  19. Covernya sudah berkesan misterius, dan makin penasaran dengan kisahnya setelah baca review ini, ingin ikutan jg menguak misteri dari masa lalu yg dialami Ravit, dan juga ingin ikutan menjelajah Bali bersama Ravit & Uci.

    Like

  20. Covernya, judulnya, temanya, bahasa penulisnya—kayanya bakal bikin jatuh cinta banget nih. Temanya, duh, bikin penasaran abis deh si Ravit.
    Baca sepenggal deskripsi tentang Uci jadi ngingetin saya sama mbok guide pas studytour ke Bali—ramah, tegas, peduli, penuh petuah-petuah yg berguna banget, sama cerita-cerita yg bikin kuping gabisa berpaling, dan asik orangnya. Kayanya Uci ga jauh beda nih. Duh orang Bali tuh ya… dabes.

    Top banget kak reviewnya. Jadi gak sabarr buat baca keseluruhan ceritanya. Gak sabar buat baca omongan-omongan Uci buat Ravit yg kayanya bakal quotable banget. Gak sabar pokoknya, makanya buku giveawaynya dong kak siniin *kedap-kedip kelilipan tawon*

    Like

  21. ‘Aku Ravit, bekas tahanan yang kini kembali terpenjara rasa takut.’

    Premis cerita ini membuat saya tergugah untuk membaca hingga akhir cerita. Terdapat unsur pengembangan diri (psikologis) yang disajikan dalam cerita ini. Suka!

    ‘Novel ini memang bukan bertema cinta, melainkan mengajak kita untuk mau melakukan perubahan yang berasal dari hati kecil kita sendiri. Novel ini memang bukan mengisahkan romansa sepasang sejoli, melainkan memberi motivasi pada pembacanya untuk bisa percaya diri dan senantiasa membersihkan hati. Novel ini memang sedikit tragis meski tidak sampai menstimulasi saya untuk menangis, tetapi sanggup membuat hati saya ikut teriris-iris.’

    Bagian ini nih yang membuat saya baper (bawa penasaran xD) sekaligus ngiler sama novel ini. Unsur motivasi dalam cerita fiksi adalah nilai plus untuk buku ini. Plus plus malah untuk saya. Haha Semoga saja saya cukup beruntung untuk mendapatkan novel ini.

    Like

  22. Novel ini mungkin bisa memberikan pandangan positif padaku untuk tetap melangkah maju walaupun diriku selalu merasa pesimis dunia akan selalu menentangku. Aku ingin berpetualang bersama Ravit ke Bali. Seperti yang Uci yakini, Bali akan menyambutku dengan kehangatan seorang ibu dan aku berharap di sana akan mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Ah … Aku jatuh cinta sama setting Bali novel ini dan aku baru tahu kalau alzheta adalah orang Bali asli. 🙂

    Like

  23. Sebenarnya ngga terlalu minat pas lihat kovernya. Habis menurut saya gambar mata itu identik sama sesuatu yang magis dan horor. Mana warnanya kelabu gitu. Tapi begitu tahu bahwa karakter utamanya itu mantan napi…. WOW! PENASARAN BANGEEEET!!!

    Apalagi nih ya saya lagi cari-cari refernsi soal kehidupan mantan napi gini, eh sekarang disodorin novel yang bercerita tentang kehidupan mantan napi. Duh penasaran banget-banget.

    Like

  24. Yah hidup ini nggak melulunya asik penuh bunga-bunga sih. Kadang kita mesti menemukan gambaran atau yah padanan supaya kita sadar kalau ternyata saat kita merasa sungguh perih ternyata masih ada lebih dari tujuh tingkatan yang jauh laranya. Karena ini bukan novel cicintaan, mungkin mesti lebih fokus bacanya. Serius itu perlu supaya nggak kebablasan. Point utamanya judulnya woah sekali kakak 😀

    Like

  25. Baca review ga brasa, tau-taunya ‘eh selesai?’ saking menghayatinya tadi 😀

    Aku penasaran, belum pernah baca genre kaya gini *Maklum, masih pemula nan terbatas.
    Percaya, pasti ada banyak Ravit di luar sana (meski dlm kasus yg beda)

    Like

  26. Melihat tampilan awalnya saja sudah membuat tangan dan mata saya tergiur untuk mendapat novel ini, ditambah dengan review-an mu yang buat saya makin penasaran. Sebenarnya ketika membaca novel, saya pasti memilih buku yang bertema tentang cinta, tapi entah kenapa buku ini sangat menarik saya dalam sekali lihat. Keren ka, keren banget.

    Like

  27. Saat membaca judulnya sebenarnya konotasiku pada kumpulan puisi. Jadi penasaran pengen baca buku ini

    Like

  28. […] saya menulis puisi ini setelah terinspirasi dari cerita fiksi di novel SATU MATA PANAH PADA KOMPAS YANG BUTA karya Suarcani. Salah satu novel yang saya sukai di tahun 2016 […]

    Like

  29. […] waktu yang lalu saya sudah meresensi ‘kakak’-nya APYB yaitu sang juara pertama Satu Mata Panah pada Kompas yang Buta di blog ini, saya tetap excited untuk membaca dan mengupas APYB karena novel ini mengangkat tema […]

    Like

Leave a comment